5 Novemba 2025 - 14:46
Source: Parstoday
Perjanjian Air Baghdad-Ankara: Akankah Irak Tetap Haus dalam Ketergantungan?

Perjanjian baru antara Baghdad dan Ankara tentang pengelolaan sumber daya air Tigris dan Efrat ditandatangani sementara para ahli lingkungan dan ekonom Irak menganggapnya bukan akhir dari krisis, tetapi awal dari periode ketergantungan.

Menteri Luar Negeri Irak Fuad Hussein dan mitranya dari Turki Hakan Fidan menandatangani perjanjian kerja sama sumber daya air di Baghdad pada hari Minggu, 2 November. Perjanjian yang berfokus pada pelaksanaan proyek air bersama untuk menemukan solusi berkelanjutan bagi krisis air di Irak, difinalisasi setelah kunjungan Recep Tayyip Erdogan ke Irak pada bulan April tahun lalu dan setelah berbulan-bulan negosiasi.

Menurut laporan Pars Today, perjanjian baru antara Baghdad dan Ankara tentang pengelolaan sumber daya air Tigris dan Efrat ditandatangani sementara para ahli lingkungan dan ekonom Irak menganggapnya bukan akhir dari krisis, melainkan awal dari periode ketergantungan. Karena Turki, dengan janji pelepasan air terbatas dan pelaksanaan proyek bersama, menjadi pemain yang menentukan dalam kebijakan air Irak, yang dianggap sebagai "alat tekanan ekonomi dan politik" baru bagi Ankara terhadap Baghdad.

Beberapa pengamat regional percaya bahwa perjanjian ini merupakan semacam pakta "minyak untuk air". Dengan demikian, dengan memanfaatkan krisis air di Irak, Turki memperkuat pengaruh ekonomi dan geopolitiknya sekaligus memanfaatkan pendapatan minyak Irak di negara tetangganya di selatan. Hal ini dikarenakan, berdasarkan perjanjian ini, sebagian pendapatan dari penjualan minyak Irak ke Turki akan dialokasikan kepada perusahaan-perusahaan Turki untuk melaksanakan proyek-proyek air di wilayah Irak.

Pada tahap pertama perjanjian ini, pembangunan tiga bendungan penampungan air dan pelaksanaan tiga proyek reklamasi lahan pertanian menjadi agenda. Namun, belum ada kuota atau volume spesifik aliran air Turki ke Irak yang diumumkan, dan kedua belah pihak belum mempublikasikan detail mengenai jumlah atau metode alokasi air.

Irak, sebagai anggota Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Jalur Air Internasional, menganggap Sungai Tigris sebagai sungai bersama dan menekankan distribusi sumber daya yang adil. Sementara itu, Turki tidak menerima konvensi ini dan menganggap Tigris sebagai sungai nasional yang menjadi miliknya dan hanya melintasi perbatasan.

Zuhair Al-Fatlawi, anggota parlemen Irak mengkritik kebijakan Turki dalam menutup jalur air Tigris dan Efrat dan mengatakan bahwa Baghdad harus mengambil sikap politik yang tegas, karena berdiam diri atas pelanggaran ini akan menyebabkan krisis air dan ekonomi.

Kepada Kantor Berita Al-Maalomah, Zuhair Al-Fatlawi menambahkan, Perilaku permusuhan Turki terhadap Irak, termasuk melanggar kedaulatan nasional dan mengobarkan perang terhadap sumber daya air dengan memutus aliran air ke sungai Tigris dan Efrat, membutuhkan sikap politik yang tegas dan jelas dari pemerintah.

Anggota dewan Irak ini menekankan, "Pemerintah harus mengadopsi strategi yang jelas dalam menangani pelanggaran Turki dan menggunakan semua kartu diplomatik dan ekonomi yang tersedia untuk melindungi hak dan kepentingan nasional Irak."

Sebelumnya, analis politik Irak Muhammad Al-Dhari mengumumkan, Beberapa negara Arab di Teluk Persia secara finansial mendukung proyek bendungan Turki untuk mengurangi hak-hak Irak dan melemahkan ekonominya, dan ini merupakan bagian dari rencana Amerika-Arab yang bertujuan melemahkan ekonomi Irak.

Al-Dhari menekankan, "Negara-negara Arab di Teluk Persia dan beberapa negara Arab lainnya telah menghabiskan banyak uang untuk membangun bendungan di Turki, meskipun negara ini tidak membutuhkan banyak cadangan air karena kondisi alamnya yang bergunung-gunung dan curah hujannya yang melimpah, negara-negara ini khawatir akan perkembangan Irak di bidang pertanian, industri, dan peternakan, yang menyebabkan mereka menghambat pembangunan Irak dan memengaruhi sistem politiknya."

Sementara itu, kalangan peneliti dan politik Irak memperingatkan bahwa pemerintah Turki sedang memeras negara mereka melalui isu sumber daya air dan bahwa perjanjian "minyak untuk air" yang ditandatangani antara Baghdad dan Ankara berdampak buruk pada kedaulatan Irak.

Dalam konteks ini, Abbas Ghadir, seorang peneliti politik, mengatakan kepada Al-Maalomah tentang isu sumber daya air antara Irak dan Turki, Turki mencoba menggunakan krisis air sebagai alat tekanan diplomatik terhadap Irak untuk mendapatkan keuntungan di bidang perdagangan dan investasi.

Ia menambahkan, "Pihak Turki masih belum memiliki posisi yang jelas terkait sejumlah perjanjian bilateral dan nota kesepahaman, terutama terkait pembagian air dan eksploitasi bendungan."

Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Al-Dhari, pejabat senior Koalisi Bersatu Anbar di Irak, memperingatkan konsekuensi serius dari perjanjian "Air untuk Minyak" yang ditandatangani antara Irak dan Turki, dan menekankan bahwa perjanjian ini memiliki konsekuensi serius bagi kedaulatan Irak.

Ia mengatakan kepada Al-Maalomah, "Perjanjian ini memberi Turki kendali penuh atas sumber daya air Irak dan pengelolaannya, di samping pembangunan dan rehabilitasi bendungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Turki, tanpa peran nyata apa pun dari pemerintah pusat Irak selain pengawasan."

Aktivis politik Irak ini menambahkan, "Pemerintah Perdana Menteri Irak Muhammad Shia' Al-Sudani telah menyerahkan sumber daya air negara itu kepada Turki melalui salah satu perjanjian paling berbahaya terkait krisis air."

Al-Dhari mengatakan, "Perjanjian ini memberikan Turki seluruh pengelolaan perairan, dan peran pemerintah pusat Irak terbatas pada pengawasan."(sl)

Your Comment

You are replying to: .
captcha